Kamis, 01 April 2010

Pendidikan Kewiraushaan(versi kompas.com)

Pendidikan Kewirausahaan Butuh "Effort" besar
Kamis, 19 November 2009 | 11:22 WIB
M.LATIEF/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Pengajaraan kewirausahaan bisa dilakukan secara menarik. Syaratnya, harus sesuai dengan kegiatan siswa sehari-hari dan memanfaatkan segala potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.
TERKAIT:

JAKARTA, KOMPAS.com - Langkah Departemen Pendidikan Nasional untuk mengembangkan pendidikan kewirausahaan mulai jenjang pendidikan dasar hingga menengah merupakan langkah besar yang harus diapresiasi dan didukung. Apalagi, pada akhir Januari 2010 mendatang, Depdiknas menargetkan kurikulum pendidikan kewirausahaan sudah selesai.

"Hanya saja, memang, butuh effort yang besar untuk bisa menerapkan pendidikan kewirausahaan di Indonesia, khususnya pada pola ajar dan SDM guru yang akan melakukan transfer pengetahuan ini," ujar Antonius Tanan, Presiden Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) di Jakarta, Kamis (19/11).

Dia melanjutkan, untuk itulah, pendidikan kewirausahaan mesti diajarkan secara holistik, yang mencakup nilai-nilai dan keterampilan serta kreatifitas seorang wirausahawan.

"Mulai dari mind set, life skills, karakter, serta pengetahuan wirausaha itu sendiri harus dipersiapkan," ucap Antonius.

Menguatkan pendapat Antonius, pengamat pendidikan yang juga Ketua dewan Pengurus Yayasan Cahaya Hati Henny Supolo Sitepu mengatakan, banyaknya masalah yang dihadapi guru seperti soal honor terlambat atau gaji rendah tidak berhubungan dengan masalah yang ditemui dalam pengajaran secara kreatif.

Justru, kata Henny, guru yang baik akan menggunakan masalah yang ditemuinya sebagai sumber belajar bersama, baik bagi siswa maupun guru itu sendiri.

"Tentu, adanya hal-hal basis seperti kesejahteraan dan status guru akan meringankan beban guru, tetapi jangan dilupakan bahwa biasanya saat siswa belajar dengan semangat, guru akan merasa puas dan kepuasaan tersebut sungguh sangat berharga," ujarnya.

Bersama dan menyenangkan

Menurut Henny, pengajaraan kewirausahaan bisa dilakukan secara menarik. Syaratnya, harus sesuai dengan kegiatan siswa sehari-hari dan memanfaatkan segala potensi yang ada di lingkungan sekitarnya.

"Harus dilakukan secara bersama dan menyenangkan," ujarnya.

Untuk bisa seperti itu, lanjut Henny, pilih kegiatan yang sederhana, disukai siswa, dan bisa terintegrasi dengan bidang pelajaran lain tanpa lebih dulu memberikan teori.

"Misalnya mengajak siswa main warung-warungan di kelas dan suruh mereka pura-pura jualan sandwich kepada sesama temannya. Dari situ, siswa belajar menentukan harga jualnya dan cara menjualnya. Semua akan menyenangkan, dan lebih penting lagi ilmu lainnya seperti Matematika bisa sekaligus diajarkan di sini," kata Henny.

Menurut penggagas Sahabat Anak, Linayati Tjindra, sebetulnya dengan kreatifitas yang ada pada guru, para anak didik, baik mulai tingkat dasar hingga menengah, hanya perlu diarahkan saja untuk menyerap ilmu kewirausahaan. Khususnya, lebih banyak mengarahkan pada hal-hal yang praksis.

"Di sekeliling kita sudah banyak contoh kegiatan kewirausahaan, semisal ada di antara murid yang berdagang untuk membantu orang tuanya demi menghidupi keluarga. Maka selain kreatif, guru tidak boleh gengsi memberi contoh, dan harus bisa menanmkan semangat tidak mudah gengsi itu kepada siswanya," ujarnya.


Kewirausahaan Tidak Akan Menambah Beban Guru
Kamis, 19 November 2009 | 14:14 WIB
M.LATIEF/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Intinya, lanjut Henny, apapun yang diberikan dalam kurikulum harus bisa disampaikan melalui kegiatan sehari-hari siswa dan diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran. Siswa tetap belajar sesuai bidang studi, mental dan kecakapan entrepreneurship mereka pun kian mumpuni.
TERKAIT:

JAKARTA, KOMPAS.com - Pengajaran kewirausahaan bisa dilakukan secara menarik. Syaratnya, harus sesuai dengan kegiatan siswa sehari-hari dan memanfaatkan segala potensi yang ada di sekitarnya.

Demikian hal itu diungkapkan oleh pengamat pendidikan yang juga Pengurus Yayasan Cahaya Hati Henny Supolo Sitepu, Kamis (19/11), terkait kesiapan para guru dan pola pikirnya dalam menghadapi kebijakan Departemen Pendidikan Nasional menerapkan kurikulum kewirausahaan mulai di jenjang pendidikan dasar hingga menengah pada 2010 mendatang.

Henny mengatakan, data potensi lingkungan tersebut antara lain minat dan potensi siswa, profesi orangtua, potensi sosial di lingkungan sekitar sekolah, potensi alam dan lingkungan sekolah, serta jejaring sosial yang dimiliki seluruh pemangku kepentingan di sekolah tersebut.

Dari data potensi tersebut, lanjut Henny, guru bisa memilih jenis kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan kewirausahaan siswa.

"Kegiatan yang bisa dilakukan antara lain cerita pengenalan profesi yang mengupas arti belajar dan perjuangan dalam pengembangan profesi tersebut dari seorang praktisi," ujarnya.

Inspiratif

Henny melanjutkan, cerita orang-orang sekitar yang membawa inspirasi perbaikan dalam berbagai latar belakang sangat diperlukan. Selain itu, membuat contoh kegiatan off air seperti hari "loak" pun sangat cocok untuk siswa.

"Mereka mengumpulkan barang bekas dan menjualnya setelah melakukan perkiraan harga, letak dan jenis pasar, atau pertimbangan-pertimbangan lainnya," kata Henny.

Masih banyak contoh lain, ujar Henny, yang bisa dilakukan oleh guru untuk mendukung pembelajaran kewirausahaan. Namun yang terpenting, tambahnya, semua harus dilakukan secara bersama dan menyenangkan antara guru dan siswa.

"Dan untuk bisa seperti itu, harus dipilih kegiatan yang sederhana dan disukai oleh siswa," ujarnya, menyarankan.

Kegiatan itu pun harus bisa dikaitkan dengan mata pelajaran atau bidang studi lainnya seperti Matematika, Bahasa Indonesia, ilmu sosial, bahkan agama, jika mengenai nilai-nilai kehidupan.

"Jika penerapannya terintegrasi dengan mata pelajaran tertentu, kegiatan-kegiatan semacam itu tentu tidak menambah beban guru bidang studi, apalagi kegiatan ini sangat menuntut keterlibatan siswa," tambahnya.

Intinya, lanjut Henny, apapun yang diberikan dalam kurikulum harus bisa disampaikan melalui kegiatan sehari-hari siswa dan diintegrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran. Siswa tetap belajar sesuai bidang studi, mental dan kecakapan entrepreneurship mereka pun kian mumpuni.


Kisah Anak Tukang Ojek Masuk UI Tanpa Tes

Kisah Anak Tukang Ojek Masuk UI Tanpa Tes (1)
Kamis, 1 April 2010 | 08:54 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Jejak Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, rasanya patut diteladani atau diikuti oleh pelajar di Jakarta atau bahkan di Indonesia.
Keluarganya yang tergolong miskin tak membuat Aisyah surut dalam menimba ilmu. Alhasil, gadis berparas ayu ini memetik hasilnya, yakni berhasil masuk perguruan tinggi di Universitas Indonesia tanpa melalui tes, tidak seperti calon mahasiswa lainnya.
Ya, nasib mujur saat ini tampaknya tengah berpihak pada warga Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, Pademangan, ini. Putri pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) ini berhasil melenggang ke kampus biru yang cukup bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia.
Menariknya, Aisyah berhasil masuk ke kampus itu tanpa harus bersusah payah seperti siswa lainnya, mengikuti berbagai macam tes. Tentu ini menjadi kebanggaan, baik bagi keluarga maupun tempatnya bersekolah, yakni SMAN 40 Jakarta. Kini anak seorang tukang ojek itu diterima di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Gizi. (Bersambung)


Kisah Anak Tukang Ojek Masuk UI Tanpa Tes (2)
Kamis, 1 April 2010 | 09:09 WIB
Berita Jakarta
JAKARTA, KOMPAS.com — Kedua orangtua Aisyah Nur Kumalasari (17), siswi kelas 12 IPA 1 SMPN 40 Pademangan, Jakarta Utara, tentu bangga dan berbesar hati menerima kenyataan bahwa anaknya diterima tanpa tes di salah satu universitas paling bergengsi di negeri ini, Universitas Indonesia. Namun, bagaimana dengan Aisyah sendiri?
"Alhamdulillah, saya sangat bersyukur, meskipun kondisi ekonomi orangtua tidak mampu, akhirnya saya diterima di UI tanpa harus melalui tes. Memang sudah cita-cita saya untuk membahagikan orangtua,” kata anak sulung dari pasangan Bogi Saptono (46) dan Paryanti (40) saat dijumpai di SMAN 40 Pademangan, Jalan Budi Kemuliaan, Pademangan, Rabu (31/3/2010).
Gadis belia yang akrab dipanggil Iis itu menuturkan, keseharian, ayahnya hanya seorang tukang ojek di wilayah Pademangan. Penghasilan ayahnya tidak lebih dari Rp 70.000 per hari.
Penghasilan itu hanya pas untuk biaya hidup sehari-hari, apalagi Paryanti, istri Bogi, hanya sebagai ibu rumah tangga biasa yang juga mengasuh seorang adik Aisyah bernama Jayanti Anisa Hapsari (5).
“Ya, mau gimana lagi, semua serba pas-pasan. Ayah orangnya tidak pernah mengeluh dengan situasi ekonomi, begitu juga ibu. Bahkan, ayah selalu menyemangati saya untuk terus belajar karena, dengan memiliki ilmu, jalan untuk sukses selalu ada,” kata gadis berparas cantik yang dikenal selalu ranking satu di kelasnya itu.
Berdasarkan rekam jejak di sekolahnya, sejak kelas satu, nilai rata-rata di rapornya adalah 8.
Yang membuatnya sedih adalah, kini penghasilan ayahnya dari mengojek menurun tajam karena ada proyek pemagaran jalan tembus menuju rel kereta api daerah Tanjung Priok. Kini penghasilan ayahnya itu tidak lebih dari Rp 50.000 per hari.
“Bapak bekerja pontang-panting demi keluarga. Saya tak ingin membuat bapak bersedih,” ujar gadis yang orangtuanya berasal dari Madiun dan Wonogiri ini. Oleh karenanya, dia bertekad untuk mewujudkan apa yang menjadi harapan orangtuanya.
Dalam kesehariannya, Aisyah tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana. Bahkan boleh dibilang, tempat tinggalnya di Pademangan Timur VIII/5, RT 014/ RW 010, yang didiami sejak kecil itu tidak layak huni. Bangunannya hanya berdindingkan tripleks dengan ukuran 2,5 x 8 meter dan berlantai semen.
Jika hujan, maka halaman rumahnya selalu digenangi air. Bahkan, jika ada kereta api lewat, maka dinding rumah selalu bergetar.
“Saya hanya berdoa, ya Allah, jangan sampai rumah ini rubuh,” kata Aisyah tersedu.
Maklum saja, jarak rumahnya dengan rel kereta api hanya 2,5 meter. (Bersambung)


Kisah Anak Tukang Ojek Masuk UI Tanpa Tes (3)
Kamis, 1 April 2010 | 09:56 WIB
Berita Jakarta
JAKARTA, KOMPAS.com — Saat ada Program Penelusuran Minat dan Kemampuan atau PMDK di Universitas Indonesia, Aisyah Nur Kumalasari (17) langsung mengikutinya.
Siswi kelas XII IPA 1 SMAN 40 Pademangan, Jakarta Utara, itu tidak sendirian. Ada 177 siswa kelas XII dari SMAN 40 Pademangan yang mengikuti program tersebut. Itu artinya, Aisyah harus bersaing dengan 176 orang temannya satu SMA.
Hasil seleksi menunjukkan, dari jumlah tersebut hanya empat siswa yang mendapat kesempatan mengikuti program PMDK dari UI. Dari kelas IPA ada Aisyah Nur Kumalasari dan Filda. Adapun dari kelas IPS ada Citra dan Anggun.
“Namun, dari tahap seleksi yang berhasil lolos masuk adalah Aisyah. Dia memang selalu juara kelas,” kata Endang Sri Astuti, Wakil Kepala SMAN 40 Pademangan.
Namun sayangnya, registrasi PMDK ini tidak masuk dalam program beasiswa 1000 Anak Bangsa karena dalam pengisian formulir Aisyah mencantumkan pendapatan orangtuanya dalam sebulan Rp 1 juta. Padahal, seharusnya pengisian tersebut kurang dari Rp 1 juta. Akibatnya, dia dikenakan biaya Rp 12 juta per semester. Tentunya dengan biaya tersebut, Bogi Saptono dan Paryanti—orangtua Aisyah—tidak akan mampu.
“Karena ini yang pertama kali untuk SMAN 40 Pademangan. Kalau Aisyah dapat program tersebut, dia hanya dikenakan biaya per semester Rp 100.000,” kata Endang didampingi Kepala SMAN 40 Pademangan Matalih.
Selanjutnya, pihak sekolah mengupayakan agar Aisyah masuk dalam program beasiswa bantuan operasional pendidikan berkeadilan yang diselenggarakan oleh UI. Akhirnya, Aisyah pun hanya dikenai biaya per semester Rp 900.000.
“Aisyah nanti tidak usah memikirkan uang semester kewajibannya itu karena pihak sekolah sudah menyediakan dana itu untuk biaya masuk. Aisyah harus bisa mempertahankan prestasinya agar beasiswanya berlanjut,” ungkap Endang.
Matalih sangat bangga dengan anak didiknya tersebut. Dia berharap keterbatasan ekonomi tidak harus menyurutkan apa yang ingin digapai. “Di mana ada kemauan, di situ pasti ada jalan,” katanya berfilosofi.
Matalih berharap akan tumbuh tunas-tunas bangsa yang akan menjadi pelopor pembangunan di Indonesia ini. Bahkan, dia berjanji sekuat tenaga untuk mencarikan jalan keluar bagi siswa-siswa, terutama dari SMAN 40 ini, yang berbakat dalam menggapai pendidikan di perguruan tinggi. Semuanya itu demi terwujudnya tunas bangsa yang bermanfaat bagi negeri ini. (Habis)
Bagaimana pendapat teman-teman tentang wara miskin di solo,apa bisa masuk uns/ugm, seperti dialami oleh Aisyah ini ?...
didik,solo.hp:08562838535/0271.7907375
sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2010/04/01/09561666/Kisah.Anak.Tukang.Ojek.Masuk.UI.Tanpa.Tes.3